Search This Blog

Pages

 

Saturday, May 14, 2011

Watak Sekuler Yang Anti Agama

(IslamMedia) Ada hal yang perlu dibongkar di balik pemikiran kaum sekuler, yaitu wataknya yang murni. Mengenai watak sekuler dari gerakan Islam liberal, terutama JIL, sudah tidak diperdebatkan lagi. Namun hal yang membuat kita sangat prihatin adalah berjangkitnya penyakit besar kepala di antara mereka.

Seringkali mereka menganggap dirinya reformis, revolusioner, progresif, dan seterusnya. Label-label ini mereka lekatkan pd diri mereka sendiri.

QS [2]:9 : “Mrk hendak menipu Allah dan org2 yang beriman, pdhal mrk hanya menipu diri mrk sendiri...”

Kebohongan, jika diucapkan terus-menerus, bisa terlihat oleh orang lain seolah kebenaran. Bahkan, jika kebohongan diucapkan terus-menerus, maka pengucapnya pun bisa mengiranya sebagai sebuah kebenaran.

Jika kita banyak membaca buku-buku para ulama Indonesia dahulu, kita akan geli melihat klaim-klain mereka tadi. Sebab, sama sekali tak ada yang baru dari konsep sekularisme yang mereka bawa. Termasuk jargon-jargonnya.

Ketika JIL br berkiprah di awal tahun 2000-an, ada jargon “agama yang diajarkan sekarang ini ‘terlalu fiqih’”. Pernyataan ini sudah pernah diucapkan oleh Soekarno dahulu, dan didebat oleh Natsir. Kemungkinan Soekarno pun mengikuti kata-kata org lain. Dalam debat itu terbukti Soekarno lemah dalam referensi. Soekarno banyak bicara tentang ‘kesuksesan’ sekularisme Turki, dan Natsir buktikan bahwa ia sangat minim rujukan. Perdebatan Natsir-Soekarno diulas secara apik dalam Biografi M. Natsir karya Ajip Rosidi. Debat tersebut berlangsung sebelum Republik Indonesia berdiri.

Nurcholish Madjid, lama setelah itu, mengutip pemikiran Ali Abdurraziq, persis seperti Soekarno juga. Kali ini, Buya Hamka yang ‘turun tangan’. Saat itu Buya Hamka pun mengatakan bahwa Cak Nur telah ‘ketinggalan jaman’. Maksudnya, tindakannya itu hanya sekedar mengulang-ulang argumen yang sudah dimentahkan para ulama.

Pemikiran Ali Abdurraziq sudah dibongkar habis-habisan oleh para ulama. Tapi memang dipuji-puji Barat, seperti biasa. Yang terjadi sekarang pun kurang lebih sama, sekedar pengulangan, sama2 membohongi diri sendiri.

Ada yang dengan ‘gagahnya’ mencibir Al-Hadits, “Hadits kan baru dibukukan di abad kedua Hijriah”. Ketika ditanya referensinya, dia cuma bisa sebut nama dosennya dan pemikir liberal di tanah air. Padahal teori itu sudah diajukan sejak lama oleh Joseph Schacht, dan sudah lama pula dibantah oleh Syaikh al-A’zhami. Tapi karena informasi hanya diambil sepihak, oknum yang malang ini tak pernah tahu siapa Syaikh al-A’zhami. Dia merasa sudah hebat kalau sudah dapat referensi dari nama-nama Barat. Menipu diri sendiri.

Sikap seperti itu biasanya mereka kemas dengan slogan-slogan yang sekilas terdengar ‘enak di telinga’. Misalnya, dulu Soekarno bilang bahwa agama terlalu tinggi dan suci untuk dibawa ke masalah politik. Pada prakteknya, kita semua tahu bahwa negara-negara sekuler selalu mengebiri agama-agama. Dengan pernyataan-pernyataannya, orang-orang sekuler berusaha memberi kesan bahwa mereka sangat mencintai agama.

Ambillah contoh Luthfi Assyaukanie, yang belum lama ini membombardir twitterverse dengan tweet-tweet anti-agamanya. Menurutnya, radikalisme di sekolah terjadi karena kegiatan-kegiatan agama dan kurangnya pelajaran evolusi. Dengan mudah kita dapat melihat bahwa Luthfi begitu anti dengan segala kegiatan agama di sekolah.

Soal ‘kedekatan hati’ kaum sekuler dengan teori evolusi, ini bukan hal yang mengejutkan. Sekularisme dibangun salah satunya dengan doktrin bahwa umat manusia senantiasa berevolusi. Dengan “evolusi”, mereka menganggap bahwa manusia selalu berubah ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, manusia kini pasti lebih baik daripada yang dahulu. Ini sudah menjadi doktrin bagi orang-orang sekuler.

Menurut mereka, para pendahulu mereka telah salah dalam memahami wahyu Tuhan. Maka lahirlah Liberalisasi Bibel di Barat, diikuti dengan lahirnya Hermeneutika. Sikap ini sudah dikritik oleh Prof. Naquib al-Attas, karena memang jauh dari logis. Jika umat manusia jaman dahulu tidak siap untuk menerima wahyu, maka mengapa Tuhan menurunkannya juga? Dalam Islam, kemajuan sains tidak berbanding lurus dengan kesalehannya. Kuli pasar dan ilmuwan sama-sama bisa jadi orang saleh atau kufur. Kita tak bisa begitu saja mengaku lebih mengerti Islam drpd Abu Bakar ra. Karena kita pakai iPad, sedang beliau hanya naik unta.

Para penganut teosofi juga menganut pola berpikir ‘evolusionis’ seperti ini. Menurut mereka, semua agama bersumber dari Tuhan yang sama, namun diturunkan menurut tingkat evolusi bangsa-bangsa. Kepada bangsa-bangsa primitif, diajarkanlah agama yang primitif. Yang modern juga mendapatkan agama modern.

Tidak heran bila para pemikir liberalis kini merasa hebat kalau bisa mencela ulama. Mereka merasa lebih pintar. Padahal konsep-konsepnya cuma meminjam dari orientalis, dan orientalis itu pun ada yang hidupnya sudah ratusan tahun yang lalu.

Sekarang banyak kita lihat kader-kader liberal yang berlindung di balik fakta bahwa dirinya berasal dari background NU. Pada saat yang sama, mereka cela Imam Syafi’i. Mungkin ia lupa mayoritas umat Islam RI menggunakan mazhab Syafi’i. Tidak heran, karena mereka hanya mengikuti instruksi dari para penyandang dananya di Barat sana.

Kembali pd tweet Luthfi, ia menjelaskan bahwa sekolah-sekolah sudah seperti majelis ta’lim. Apanya? Di tweet berikutnya, dijelaskan bahwa yang mirip majelis ta’lim adalah “tampilannya”. Jadi, ternyata analisis Luthfi hanya sebatas tampilan. Wajar kalau kesimpulannya dangkal begitu. Lucunya, sekolah yang dicelanya karena mirip majelis ta’lim itu justru salah satu SMAN terbaik di Jatim. Artinya, ia mengakui sendiri bahwa masalah tampilan tersebut tidak berpengaruh pd prestasi. Tapi tetap wajib dicela.

Ini menunjukkan bahwa tabiat sekularisme memang , sebaik apa pun mereka berusaha menutupinya. Urusan agama, meski cuma sekedar penampilan, pasti akan terus dibenci dan dihina oleh orang2 sekuler. Lihatlah bagaimana jilbab menjadi isu yang sangat serius di negara2 sekuler. Seolah-olah jilbab=bom. Sebaliknya, ada Muslimah di Jerman yang ditikam hanya karena atribut keislamannya, tak jadi perhatian mereka. Tapi kalau soal pelacur, misalnya, kuat sekali pembelaan mereka.

Ada juga kaum sekuler yang berusaha melogikakan kebenciannya pada jilbab dengan argumen-argumen yang, well, memalukan. Misalnya, mereka mengatakan bahwa justru jilbab itulah yang telah mendiskreditkan orang lain. Dengan kata lain, jilbab telah membuat orang-orang yang tidak berjilbab merasa terancam. Tidak ada logika di sini.

Menurut Luthfi, kita tidak butuh pelajaran agama. yang kita butuhkan adalah pengetahuan & pengajaran yang baik. Di sini, jelas Luthfi telah membedakan antara “agama” dan “pengetahuan”. Jadi, agama tidak pernah dianggap sebagai bagian dari dunia keilmuan. Itulah watak umum kaum sekuler.

Kalangan Sekuler-Barat memang membedakan antara “science” dan “knowledge”. “Science” adalah ilmu pengetahuan, sedangkan “knowledge” hanya pengetahuan (minus ilmu). Agama, oleh orang-orang sekuler, digolongkan ke dalam “knowledge”. tidak ada ilmu dalam agama (kata mereka).

Padahal, Islam bukan hanya menghormati ilmu, namun juga membangun tradisi keilmuan. Perdebatan para ulama fuqaha, yang dicela-cela oleh mereka, justru menunjukkan tingginya keilmuan mereka. Lihat contohnya penjelasan ust Ahmad Sarwat tentang perbedaan wudhu menurut para ulama mazhab. (http://youtu.be/-IJpu1fDnyY)

Justru dengan meneliti wahyu-wahyu Allah itulah umat Islam belajar mengembangkan kekritisannya. Yang dimaksud dengan ‘kekritisan’ bukanlah mengkritisi wahyu, namun justru memikirkan makna wahyu tersebut secara kritis-komprehensif.

Inilah yang tidak bisa dilakukan oleh peradaban Barat, sehingga mereka memutuskan untuk menjadi sekuler. Coba lihat pernyataan pamungkas Luthfie soal agama dan sekolah. Di sini, sekularisme tak lagi bisa menyembunyikan jati dirinya. Sekularisme adalah paham, bahkan sekularisme itu sendiri telah menjadi sebuah ‘agama baru’.

Luthfi Assyaukanie memang dikenal sangat anti-agama. Ia sering menyoroti ‘kekerasan bermotif agama’. Sayangnya, ia tidak pernah menyoroti ‘kekerasan bermotif sekuler’, atau ‘kekerasan oleh orang-orang sekuler’. Sebagai perbandingan.

Berapa banyak pelaku kekerasan di negeri ini? Adakah mereka penganut agama yang taat? Atau sekuler? Berapa banyak preman di jalanan? Mereka taat beragama, atau sekuler? Berapa banyak perempuan dipaksa berjilbab? Berapa banyak perempuan yang dilarang berjilbab? Orang-orang sekuler menghakimi cara berpakaian Muslimah, sedangkan kita dilarang menghakimi mereka yang berbikini.

Apa saja yang Anda ajukan, secemerlang apa pun pemikiran Anda, kalau asalnya dari agama, pasti mereka tolak. Hal ini pernah dialami sendiri oleh Moh. Natsir, ketika ia diundang mengikuti suatu konferensi perempuan. Dalam konferensi itu, banyak yang berorasi tentang peran perempuan menurut tokoh ini dan itu. Tapi ketika Natsir berpidato soal peran perempuan menurut Islam, orasinya langsung dipotong.

Demikianlah watak mereka. Janganlah kita terjatuh dalam lubang yang sama berkali-kali. Jangan terpedaya dengan tipuan yang sama. Orang-orang sekuler adalah para pembenci agama, meskipun mereka mati-matian membantahnya. Sejarah membantu kita melihat bahwa sebelum mereka pun sudah banyak yang membawa pemikiran yang sama, retorika yang sama.

Semoga kita terhindar dari tipu daya orang-orang yang suka menipu dirinya sendiri. Aamiin...

Oleh:

No comments:

Post a Comment

Popular Posts

Total Pageviews

Facebook

Blog Archive

Shout Box


ShoutMix chat widget

Followers

Copyright © 2011. SMART ZIKIR . Published by Ardisyam