Search This Blog

Pages

 

Tuesday, February 7, 2012

Kalau Syiah Sesat, Mengapa Boleh Masuk Tanah Suci?

Pertama, sebaik-baik jawaban ialah Wallahu a’lam. Hanya Allah yang Tahu sebenar-benar alasan di balik kebijakan Pemerintah Saudi memberikan tempat bagi kaum Syiah untuk ziarah ke Makkah dan Madinah.

Kedua, dalam sekte Syiah terdapat banyak golongan-golongan. Di antara mereka ada yang lebih dekat ke golongan Ahlus Sunnah (yaitu Syiah Zaidiyyah), ada yang moderat kesesatannya, dan ada yang ekstrim (seperti Imamiyyah dan Ismailiyyah). Terhadap kaum Syiah ekstrim ini, rata-rata para ulama tidak mengakui keislaman mereka. Nah, dalam praktiknya, tidak mudah membedakan kelompok-kelompok tadi.

Ketiga, usia sekte Syiah sudah sangat tua. Hampir setua usia sejarah Islam itu sendiri. Tentu cara menghadapi sekte seperti ini berbeda dengan cara menghadapi Ahmadiyyah, aliran Lia Eden, dll. yang termasuk sekte-sekte baru. Bahkan Syiah sudah mempunyai sejarah sendiri, sebelum kekuasaan negeri Saudi dikuasai Dinasti Saud yang berpaham Salafiyyah. Jauh-jauh hari sebelum Dinasti Ibnu Saud berdiri, kaum Syiah sudah masuk Makkah-Madinah. Ibnu Hajar Al Haitsami penyusun kitab As Shawaiq Al Muhriqah, beliau menulis kitab itu dalam rangka memperingatkan bahaya sekte Syiah yang di masanya banyak muncul di Kota Makkah. Padahal kitab ini termasuk kitab turats klasik, sudah ada jauh sebelum era Dinasti Saud.

Keempat, kalau melihat identitas kaum Syiah yang datang ke Makkah atau Madinah, ya rata-rata tertulis “agama Islam”. Negara Iran saja mengklaim sebagai Jumhuriyyah Al Islamiyyah (Republik Islam). Revolusi mereka disebut Revolusi Islam (Al Tsaurah Al Islamiyyah). Data seperti ini tentu sangat menyulitkan untuk memastikan jenis sekte mereka. Lha wong, semuanya disebut “Islam” atau “Muslim”.

Kelima, kebanyakan kaum Syiah yang datang ke Makkah atau Madinah, mereka orang awam. Artinya, kesyiahan mereka umumnya hanya ikut-ikutan, karena tradisi, atau karena desakan lingkungan. Orang seperti ini berbeda dengan tokoh-tokoh Syiah ekstrem yang memang sudah dianggap murtad dari jalan Islam. Tanda kalau mereka orang awam yaitu kemauan mereka untuk datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah itu sendiri. Kalau mereka Syiah ekstrim, tak akan mau datang ke Tanah Suci Ahlus Sunnah. Mereka sudah punya “tanah suci” sendiri yaitu: Karbala’, Najaf, dan Qum. Perlakuan terhadap kaum Syiah awam tentu harus berbeda dengan perlakuan kepada kalangan ekstrim mereka.

Keenam, orang-orang Syiah yang datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah sangat diharapkan akan mengambil banyak-banyak pelajaran dari kehidupan kaum Muslimin di Makkah-Madinah. Bila mereka tertarik, terkesan, atau bahkan terpikat; mudah-mudahan mau bertaubat dari agamanya, dan kembali ke jalan lurus, agama Islam Ahlus Sunnah.

Ketujuh, hadirnya ribuan kaum Syiah di Tanah Suci Makkah-Madinah, hal tersebut adalah BUKTI BESAR betapa ajaran Islam (Ahlus Sunnah) sesuai dengan fitrah manusia. Meskipun para ulama dan kaum penyesat Syiah sudah bekerja keras sejak ribuan tahun lalu, untuk membuat-buat agama baru yang berbeda dengan ajaran Islam Ahlus Sunnah; tetap saja fitrah mereka tidak bisa dipungkiri, bahwa hati-hati mereka terikat dengan Tanah Suci kaum Muslimin (Makkah-Madinah), bukan Karbala, Najaf, dan Qum.

Kedelapan, kaum Syiah di negerinya sangat biasa memuja kubur, menyembah kubur, tawaf mengelilingi kuburan, meminta tolong kepada ahli kubur, berkorban untuk penghuni kubur, dll. Kalau mereka datang ke Makkah-Madinah, maka praktik “ibadah kubur” itu tidak ada disana. Harapannya, mereka bisa belajar untuk meninggalkan ibadah kubur, kalau nanti mereka sudah kembali ke negerinya. Insya Allah.

Kesembilan, pertanyaan di atas sebenarnya lebih layak diajukan ke kaum Syiah sendiri, bukan ke Ahlus Sunnah. Mestinya kaum Syiah jangan bertanya, “Mengapa orang Syiah masih boleh ke Makkah-Madinah?” Mestinya pertanyaan ini diubah dan diajukan ke diri mereka sendiri, “Kalau Anda benar-benar Syiah, mengapa masih datang ke Makkah dan Madinah? Bukankah Anda sudah mempunyai ‘kota suci’ sendiri?”


Sumber: Kalau Syiah Sesat, Mengapa Boleh Masuk Tanah Suci?
Posted on 12:40 PM / 0 comments / Read More

Wednesday, February 1, 2012

'Bius Mematikan' Haidar Bagir Untuk Sunni!

Kalau saya menamakannya sebagai 'bius mematikan' maka ini adalah sekedar menggambarkan, bagaimana liciknya orang Syi'ah dalam melakukan taqiyyah (baca: dusta) dengan tujuan, meredam makin runcingnya seteru antara penganut Islam dan Syi'ah.

Bilamana anda sempat membaca tulisan Haidar Bagir, yang berjudul "Syiah dan Kerukunan Umat" (sila diklik) yang dimuat di koran Republika, maka seolah-olah, pembaca menjadi salah bila terlanjur memberikan label, Syi'ah suka akan kegaduhan dan keonaran terkait hubungannya dengan Sunni.

Dalam tulisan itu pun, seolah memberikan pesan kepada yang membaca: "Inilah Syi'ah di Indonesia, kami cinta damai, kami tak mengecam sahabat..." dan seterusnya. Intinya, ingin meyakinkan bahwa Syi'ah tidaklah seperti yang digembar-gemborkan selama ini. Bahwa tuduhan kepada Syi'ah itu, hanyalah dusta semata.

Dan demikian memang geliat Syi'ah yang bak bius mematikan itu ditebar. Jikalau suatu saat, anda sempat membaca artikel/tulisan yang dibuat oleh dedengkot Syi'ah di Indonesia aka Jalaludin Rahmat, maka anda akan menjumpai nuansa tulisan yang sama. Sejuk, tapi membunuh!

Dari tulisan Haidar Bagir, ada 3 (tiga) poin -setelah ia menanamkan opini ke pembaca, bahwa Syi'ah punya misi damai di Indonesia-, yang dituduhkannya kepada kaum ahlussunnah wal jamaah.

Dan tuduhan ini, bukan tuduhan yang ringan. Bahkan, tuduhan-tuduhan yang berat.

Pertama, Haidar Bagir menyamakan kalau Syi'ah dihujat karena menganggap Al Qur'an yang ada sekarang tidaklah selengkap Al Qur'an versi Syi'ah, ia pun balik menuduh, bahwa berdasarkan riwayat-riwayat hadits ahlussunnah, dinyatakan bahwa ada ayat-ayat yang memang hilang (karena dimakan dajin, yakni kambing atau ayam).

Tuduhan yang kedua, bahwa jika Syi'ah diklaim suka menghina para Sahabat Nabi -ridwanullah alaihim ajmain- maka tak ada bedanya, Ali bin Abi Thalib pun dicerca dan dimaki di mimbar-mimbar Jum'at, pada jaman kekuasaan bani Umayah.

Dan yang terakhir, dalam tulisan pendiri penerbit Mizan (yang terkenal) itu, juga mengklarifikasi, bahwa Syi'ah tak lagi mencela para Sahabat Nabi, serta ulama Syi'ah yang mencela Aisyah yakni Yasir Habib, telah diperingatkan oleh rahbar di Iran, untuk tidak melakukannya lagi. Maksudnya tentu ingin mengatakan bahwa jikalau ada orang Sunni yang mengungkit-ungkit bahwa Syi'ah suka mencela Sahabat, ini salah alamat. Karena Syi'ah sudah 'tobat' dari melakukan yang demikian.

Nah, benarkah bius nan mematikan dari Haidar Bagir ini dengan  3 poin yang disebarnya itu?

Untuk menjawabnya, ijinkan saya menukil penjelasan yang ditulis oleh ustadz Fahmi Salim yang dimuat di situs era muslim dengan judul: Distorsi Itikad Baik Merukunkan Umat, Bantahan Artikel Haidar Bagir (sila diklik).

Untuk tuduhan pertama dari Haidar Bagir, maka berikut penjelasannya:

Klaim Haidar Bagir, bahwa Syiah bersepakat dengan Sunni bahwa Al Qur'an mereka, sama dengan Al Qur'an Sunni, ini justru menyalahi apa yang tertulis dalam kitab-kitab ulama Syi'ah itu sendiri yang menyatakan bahwa Qur'an Syi'ah, lebih lengkap daripada mushaf Utsmaninya Sunni.

Kemudian, tentang hadits yang dibawakan oleh Haidar Bagir, ini pun sudah dibantah oleh para ulama.

    Hadits itu munkar dan tidak sahih, meski diriwayatkan oleh Ibnu Majah, seperti diterangkan oleh para pakar hadis. Ada illat yang merusak sanadnya yaitu pada salah satu rawinya Muhammad ibn Ishaq, ia dinilai mudhtharib (kacau hadisnya) karena menyelisihi dan menyalahi riwayat para rawi lain yang lebih tsiqoh (terpercaya). Ibnu Majah sendiri ketika meriwayatkan hadis ini dari Muhammad ibn Ishaq menukil dua sanad yang berbeda dari dia. Sedangkan perawi lain yang lebih tsiqoh seperti Imam Malik dalam Al-Muwattha’ (vol.2/608) dari Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari Aisyah, dan Imam Muslim (no.1452) dari Yahya ibn Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah, keduanya dengan redaksi “Al-Qur’an telah turun dengan ayat susuan 10 kali agar jadi mahram lalu dinasakh kemudian turun lagi ayat susuan 5 kali susuan yang sudah pasti hukumnya dan ayat-ayat itu kami baca dahulu kala sebagai Qur’an”, dan tak ada kata-kata ‘pelecehan’ bahwa lembaran ayat itu dimakan Dajin (kambing atau ayam). Oleh sebab itulah Imam Az-Zaila’I menilai dalam takhrij hadis dan atsar bahwa, penambahan redaksi ayat rajam dan radha’ah yang ada di bawah kasur aisyah lalu dimakan kambing itu adalah rekayasa dan manipulasi perbuatan kaum mulhid (ateis) dan rafidhah (syiah).

Tentang tuduhan yang kedua, ini pun tak lepas dari lemahnya riwayat yang dipakai sebagai sandaran.

    Perlu diketahui bahwa asal muasal berita yang mengatakan bahwa kebijakan Bani Umayyah mencela Imam Ali ibn Abi Thalib di mimbar-mimbar jumat dan baru dihilangkan itu oleh ‘Umar ibn Abdul Aziz, bersumber dari Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat, yang ia riwayatkan dari Ali ibn Muhammad al-Madaini dari gurunya Luth ibn Yahya. Berita semacam ini tidak benar dan sudah diteliti oleh Dr. Ali Muhammad Shallabi dalam bukunya Al-Khalifah Al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz. Sebab hampir semua pakar dan imam hadis ahlisunnah menilai Ali Al-Madaini dan Luth ibn Yahya sebagai perawi yang tidak bisa dipercaya dan terbiasa meriwayatkan dari orang-orang yang lemah hafalannya dan tak dikenal (majhul). Selain tinjauan ilmu riwayat hadis, Shallabi juga menganalisis bahwa tidak benar pula fakta puluhan tahun Imam ‘Ali dikutuk Bani Umayyah, sementara kitab-kitab sejarah yang ditulis semasa dengan daulah Umayyah tidak pernah menceritakan adanya fakta sejarah itu. Kisah itu baru ditulis oleh para ahli sejarah mutakhir dalam kitab-kitab yang disusun pada era Bani Abbasiyah. Dengan motif politis untuk menjelek-jelekkan citra Bani Umayyah di tengah umat. Shallabi juga yakin bahwa kisah itu baru disusun dalam kitab Muruj al-Dzahab karya Al-Mas’udi (Syi’i) dan penulis syiah lainnya hingga kisah fiktif itu ikut tersusupi ke dalam kitab tarikh ahlisunnah yang ditulis belakangan seperti Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fi Tarikh yang disebut Sdr. Haidar, namun tidak ada sandaran satupun riwayat yang sahih. (Shallabi: 107)

Dan yang terakhir, mengenai 'tobatnya' Syiah dari mencela Sahabat Nabi (termasuk istri-istri beliau, Aisyah dan Hafshah radiyallahu anhuma), maka ini harus dibuktikan dengan revisi buku-buku dan tulisan-tulisan dari kitab-kitab Syi'ah yang memang memuat tuduhan keji dari mulut-mulut mereka kepada Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, dengan tuduhan yang sangat menyakitkan.

Sedangkan dalam kenyataannya, meski sudah ditulis oleh Haidar Bagir bagaimana Syi'ah bertobat dari yang demikian, buku-buku ulama Syi'ah yang berisikan kecaman kepada para Sahabat, tak juga direvisi, dari yang demikian.

Inilah hakikat taqiyyah yang diajarkan oleh Syi'ah sebagai bagian dari ajaran agama mereka. Ibarat serigala berbulu domba, maka mereka mencoba mengesankan bahwa sang serigala, sudah 100% berubah menjadi domba.

Walhasil, para ulama rabbani dengan keilmuan yang mereka miliki, tak kan tertipu dengan usaha-usaha Syi'ah untuk mengkaburkan jati diri mereka sendiri, meski mereka berusaha menjilat-jilat paham Sunni, supaya bisa diakui menjadi madzab kelima, sebagaimana mereka inginkan.

Jika tak ada lagi kewaspadaan dari ummat akan bahaya Syi'ah, maka tiba-tiba saja, ketika jumlah mereka sudah signifikan, mereka akan lepaskan bulu-bulu domba yang selama ini mereka pakai, dan menjelma menjadi serigala yang ganas, yang segera memangsa domba-domba yang tertipu dengan kamuflase yang dilakukannya selama ini.

Wallahu a'lam

'Bius Mematikan' Haidar Bagir (Pemilik Penerbit MIZAN, Untuk Sunni!
Posted on 3:31 PM / 0 comments / Read More

Distorsi Itikad Baik Merukunkan Umat, Bantahan Artikel Haidar Bagir

Di tengah kondisi umat dan bangsa yang sarat dengan problem sosial dan membutuhkan solusi konkrit, saya menyambut baik tulisan Sdr. Haidar Bagir yang berjudul “Syiah dan Kerukunan Umat” yang dimuat harian Republika (20/1/2012). Apalagi Bung Haidar, yang tentu saja telah mencermati sikap dan reaksi para pengkritik Syiah sejak meletus kasus Sampang akhir tahun lalu, dengan bijak menulis, “…harus diakui bahwa inti nasihat mereka kepada para pengikut syiah di Indonesia mengandung kebenaran-kebenaran dan patut jadi renungan. Intinya agar setelah memahami bahwa antara kedua mazhab ada perbedaan-perbedaan pandangan yang sulit atau bahkan tak bisa dipertemukan, para pengikut syiah di Indonesia tidak sekali-kali berupaya untuk melakukan dakwah syiah di Indonesia.”

Selanjutnya ia mengutarakan persetujuannya seraya mengutip pesan Ayatullah Ali Taskheri, salah satu pembantu terdekat Wali Faqih Iran yang juga Ketua Majma’ Al-‘Alami li At-Taqrib, yang tegas menyatakan bahwa, “hendaknya kaum syiah di Indonesia meninggalkan sama sekali pikiran untuk mensyiahkan kaum muslim di Indonesia.”

Alangkah leganya saya, dan juga mungkin kawan-kawan lain pengkritik Syiah, mendengar pernyataan penting dari salah satu tokoh intelektual Syiah Indonesia yang luwes bergaul dengan tokoh-tokoh muslim sunni lain dan cukup berpengaruh. Apalagi sinyal pesan itu semakin kuat menggema di akhir artikel itu berupa himbauan serius agar, “..orang-orang yang pandangannya didengar oleh para pengikut syiah di negeri ini, hendaknya mereka meyakinkan para pengikutnya untuk dapat membawa diri dengan sebaik-baiknya serta mengutamakan persaudaraan dan toleransi terhadap saudara-saudaranya yang merupakan mayoritas di negeri ini.”

Paradoks

Tampak kesan itikad baik yang muncul untuk menciptakan kerukunan umat di tengah konflik yang menganga antara muslim sunni dan syiah di negeri ini. Namun harapan saya dan juga mungkin ribuan pembaca lain buyar seketika ketika Bung Haidar membahas tiga kelemahan mendasar argumentasi para pengecam syiah. Suasana dialog yang sudah baik itu justru diperkeruh dan dikotori sendiri oleh penulisnya dengan cara mendistorsi riwayat-riwayat ahlussunnah. Oleh sebab itu izinkan saya untuk menjawab tuduhan itu satu persatu.

Pertama, generalisasi tuduhan bahwa Syiah meyakini Al-Qur’an saat ini tidak lengkap dan ada distorsi (tahrif). Bung Haidar memang tidak memungkiri bahwa ada anasir ulama syiah di berbagai zaman yang mempercayai dan berargumentasi soal ini. Namun ia berpandangan bahwa keyakinan tahrif itu tidak diterima luas dan justru jumhur ulama syiah meyakini sebaliknya, bahwa Al-Qur’an mushaf Usmani ini sudah lengkap dan sempurna.

Jika memang benar demikian adanya, mengapa Adnan Al-Bahrani, seorang tokoh syiah kontemporer, masih menyatakan pendapat bahwa Al-Quran telah mengalami distorsi dan perubahan yang dilakukan oleh orang-orang Islam (Ahlusunnah) adalah konsensus dalam sekte syiah, dan pengetahuan yang pasti dalam mazhab mereka. (lihat buku Mungkinkah Sunah-Syiah dalam Ukhuwah?! hlm.302)

Karena sudah jadi hal yang aksiomatis, maka upaya untuk menutup-nutupi keyakinan tersebut dengan cara taqiyah yang sering dilakukan syiah kontemporer adalah sia-sia. Seorang ulama syiah terkemuka, An-Nuri At-Thabarsi bahkan telah membahasnya tuntas soal tahrif itu dalam buku yang tebal berjudul, Fashl Al-Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabb Al-Arbab. Di dalam buku itu, terhimpun lebih dari 200 riwayat yang membenarkan distorsi dalam Al-Qur’an. Bahkan di bukunya itu Nuri at-Thabarsi mengutip 40 nama ulama imamiyah yang meyakini doktrin tahrif Al-Qur’an itu. Jadi mana yang bisa kita percaya, Haidar Bagir atau Nuri at-Thabarsi?

Selain Nuri Thabarsi, ada sederet nama-nama pemuka syiah dari berbagai periode sejarah yang juga tegas menyatakan terjadinya tahrif. Setidaknya itulah hasil penelitian yang dilakukan Prof. Ahmad Sa’ad Al-Ghamidi (Maktabah Syamilah ed.2) . Ia menjelaskan bahwa pernyataan adanya tahrif itu diungkapkan oleh lebih dari 30 ulama imamiyah seperti: Fadhl ibn Syadzan an-Naisaburi (w.260 H) di kitab Al-Idhah hlm.112-114, Furat ibn Ibrahim Al-Kufi (ulama abad ke-3 H) di kitab Tafsirnya vol.1/18, Al-‘Ayasyi dalam Tafsirnya vol.1/12-13 dan 47-48, Abu Al-Qasim Ali ibn Ahmad Al-Kufi (w. 352 H) dalam kitab Al-Istighotsah min Bida’ Al-Tsalatsah vol.1/51-53, Muhammad ibn Ibrahim An-Nu’mani di kitab Al-Ghaibah, Abu Abdillah Muhammad ibn an-Nu’man Al-Mufid (w. 413) di kitab Awa’il Al-Maqalat, Abu Manshur Ahmad ibn Ali At-Thabrisi dalam kitab Al-Ihtijaj vol.1/240, 245, 249, Abu Al-Hasan Ali ibn Isa Al-Irbili (w. 692) dalam Kasyfu Al-Ghummah fi Ma’rifat Al-Aimmah vol.1/319, Al-Faidh Al-Kasyani (w. 1091) dalam Tafsir As-Shofi vol.1/24-25 dan 32-33, Muhammad ibn Hasan Al-Hur Al-Amili (w. 1104) di kitab Wasa’il As- vol.18/145, Hasyim ibn Sulaiman Al-Bahrani (w. 1107) dalam Tafsir Al-Burhan vol.4/151-152, Muhammad Baqir Al-Majlisi (w. 1111) dalam Bihar Al-Anwar dan Mir’atu Al-Uqul vol.12/525, Ni’matullah Al-Musawi Al-Jazairi (w. 1112) di kitab Al-Anwar An-Nu’maniyah vol.2/360-364, Yusuf ibn Ahmad Al-Bahrani (w. 1186) di kitab Al-Durar An-Najfiyyah hlm.294-296.

Lebih dari fakta itu semua, jika merujuk kitab Al-Kafi (ditulis oleh Abu Ja’far Al-Kulaini w. 329) yang diakui sebagai kitab hadits induk yang paling sahih dengan riwayat mutawatir dan disusun pada masa Ghaybah Shugro dari Imam yang ke-12 yaitu Al-Mahdi, dapat kita jumpai keyakinan adanya tahrif dengan nada bahwa tak ada yang mengumpulkan dan menghafal Qur’an persis seperti yang diwahyukan oleh Allah kecuali Ali bin Abi Thalib dan imam-imam setelahnya (vol.1/228), atau para imam yang mendapat wasiat, dan jumlah ayatnya adalah 17.000 ayat (vol.2/634) yang turut hilang dibawa Imam ke-12 Al-Mahdi dan baru akan hadir lagi saat beliau kembali dari ghaybah-nya.

Patut disayangkan, saat Bung Haidar mengatakan jumhur ulama syiah sepakat bulat bahwa Al-Qur’an mushaf usmani yang ada sekarang ini lengkap dan sempurna, ia tidak menyebutkan sumber-sumber primer dalam dakwaannya itu. Itulah agaknya tren perspektif baru tentang syiah yang ingin mengesankan bahwa sunni – syiah sepakat tidak adanya ajaran tahrif terhadap Al-Qur’an yang ada sekarang. Namun data-data yang kami kemukakan agaknya bertolak belakang dengan pernyataan beliau.

Kedua, baru saja Bung Haidar ingin mengesankan bahwa sunni-syiah sepakat tidak ada tahrif dalam Al-Qur’an, justru di poin kedua kelemahan mendasar argumentasi pengecam syiah yaitu tidak terpeliharanya keseimbangan pandangan, ia memperkeruh suasana dengan mendistorsi riwayat-riwayat ahlusunnah, yang mengesankan adanya tahrif. Ia menyindir bahwa hal itu juga terdapat di kitab sahih dan hadis sahih yang diakui ahlusunnah.

Memang tertera dalam Sunan Ibnu Majah, dari Muhammad ibn Ishaq dari Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari ‘Aisyah, dan dari Abdurrahman ibn Al-Qasim dari ayahnya dari Aisyah berkata, telah turun ayat tentang rajam dan radha’ah (menyusui) orang dewasa dengan 10 kali susuan, sungguh dahulu tertulis di dalam lembaran di bawah tempat tidurku, dan saat Rasulullah saw wafat kami sibuk mengurusi jenazahnya sehingga masuk Dajin (hewan peliharaan seperti kambing atau ayam) dan memakan lembaran ayat itu. Hadits itu munkar dan tidak sahih, meski diriwayatkan oleh Ibnu Majah, seperti diterangkan oleh para pakar hadis. Ada illat yang merusak sanadnya yaitu pada salah satu rawinya Muhammad ibn Ishaq, ia dinilai mudhtharib (kacau hadisnya) karena menyelisihi dan menyalahi riwayat para rawi lain yang lebih tsiqoh (terpercaya). Ibnu Majah sendiri ketika meriwayatkan hadis ini dari Muhammad ibn Ishaq menukil dua sanad yang berbeda dari dia. Sedangkan perawi lain yang lebih tsiqoh seperti Imam Malik dalam Al-Muwattha’ (vol.2/608) dari Abdullah ibn Abi Bakr dari ‘Amrah dari Aisyah, dan Imam Muslim (no.1452) dari Yahya ibn Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah, keduanya dengan redaksi “Al-Qur’an telah turun dengan ayat susuan 10 kali agar jadi mahram lalu dinasakh kemudian turun lagi ayat susuan 5 kali susuan yang sudah pasti hukumnya dan ayat-ayat itu kami baca dahulu kala sebagai Qur’an”, dan tak ada kata-kata ‘pelecehan’ bahwa lembaran ayat itu dimakan Dajin (kambing atau ayam). Oleh sebab itulah Imam Az-Zaila’I menilai dalam takhrij hadis dan atsar bahwa, penambahan redaksi ayat rajam dan radha’ah yang ada di bawah kasur aisyah lalu dimakan kambing itu adalah rekayasa dan manipulasi perbuatan kaum mulhid (ateis) dan rafidhah (syiah).

Hal lain yang disinggung adalah bahwa kutukan dan kecaman atas sahabat Nabi bukan khas syiah, namun sunni juga diindikasi melakukan hal yang sama pada era Bani Umayyah berkuasa. Perlu diketahui bahwa asal muasal berita yang mengatakan bahwa kebijakan Bani Umayyah mencela Imam Ali ibn Abi Thalib di mimbar-mimbar jumat dan baru dihilangkan itu oleh ‘Umar ibn Abdul Aziz, bersumber dari Ibnu Sa’ad dalam kitab Thabaqat, yang ia riwayatkan dari Ali ibn Muhammad al-Madaini dari gurunya Luth ibn Yahya. Berita semacam ini tidak benar dan sudah diteliti oleh Dr. Ali Muhammad Shallabi dalam bukunya Al-Khalifah Al-Rasyid Umar bin Abdul Aziz. Sebab hampir semua pakar dan imam hadis ahlisunnah menilai Ali Al-Madaini dan Luth ibn Yahya sebagai perawi yang tidak bisa dipercaya dan terbiasa meriwayatkan dari orang-orang yang lemah hafalannya dan tak dikenal (majhul). Selain tinjauan ilmu riwayat hadis, Shallabi juga menganalisis bahwa tidak benar pula fakta puluhan tahun Imam ‘Ali dikutuk Bani Umayyah, sementara kitab-kitab sejarah yang ditulis semasa dengan daulah Umayyah tidak pernah menceritakan adanya fakta sejarah itu. Kisah itu baru ditulis oleh para ahli sejarah mutakhir dalam kitab-kitab yang disusun pada era Bani Abbasiyah. Dengan motif politis untuk menjelek-jelekkan citra Bani Umayyah di tengah umat. Shallabi juga yakin bahwa kisah itu baru disusun dalam kitab Muruj al-Dzahab karya Al-Mas’udi (Syi’i) dan penulis syiah lainnya hingga kisah fiktif itu ikut tersusupi ke dalam kitab tarikh ahlisunnah yang ditulis belakangan seperti Ibnul Atsir dalam Al-Kamil fi Tarikh yang disebut Sdr. Haidar, namun tidak ada sandaran satupun riwayat yang sahih. (Shallabi: 107)

Ketiga, soal perkembangan pandangan yang terjadi dalam mazhab syiah. Jika benar Konferensi Majma’ Ahl Al-Bayt di London 1995 tegas menyatakan menerima keabsahan kekhalifahan tiga khalifah terdahulu sebelum Imam Ali, demikian pula fatwa Rahbar Iran Sy. Ali Khamenei yang melarang penghinaan terhadap orang-orang yang dihormati oleh para pemeluk ahlus sunnah seperti ditulis Bung Haidar. Maka kami menunggu dengan sangat kapan otoritas marja’ taklid Syiah di Iran dan juga Indonesia untuk membenahi, membantah dan meluruskan semua buku-buku referensi syiah klasik dan kontemporer yang terbit dalam berbagai bahasa dunia, terutama yang diajarkan di hauzah-hauzah ilmiah Iran, yang lalu diajarkan kepada pengikutnya dan dipropagandakan di tengah komunitas muslim sunni Indonesia.

Buku-buku dan tulisan itu, yang sebagian isinya telah dibeberkan oleh Sdr. Adian Husaini di Jurnal Islamia, harus ditarik, direvisi, lalu dicetak ulang sehingga bersih dari kecaman dan hinaan kepada para sahabat nabi dan istri-istri beliau yang mulia. Jika hal itu bisa dan benar-benar terwujud, maka persaudaraan dan toleransi hakiki yang diharapkan Bung Haidar muncul dari para pengikut syiah di Indonesia pasti terwujud dan itu artinya tidak perlu lagi pengikut syiah menampilkan status kesyiahannya, sebab mereka sudah sama seratus persen dengan ahlusunnah wal jamaah di negeri ini. Wallahu a’lam.

Distorsi Itikad Baik Merukunkan Umat, Bantahan Artikel Haidar Bagir
Oleh Fahmi Salim
Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan Anggota Komisi Pengkajian MUI Pusat.
Posted on 3:28 PM / 0 comments / Read More

Syiah dan Kesalahpahaman, Tanggapan Artikel "Sekali Lagi, Syiah dan Kerukunan Umat"

Dalam artikelnya di Republika (27/1/2012), Saudara Haidar Bagir menanggapi artikel bantahan yang ditulis oleh Muhammad Baharun dan saya. Sebelumnya, perlu disampaikan, dalam setiap munazharah (debat ilmiah) perlu ada kode etik (adabul baths). Dan salah satu kode etik yang selalu saya pegang dari Al-Azhar Mesir, -- almamater saya -- adalah kaidah yang menyatakan, “in kunta naqilan fa’alayka bil-shihhat wa in kunta mudda’iyan fa’alayka bi-d-dalil”.

Artinya, jika anda menukil pendapat, maka harus benar-benar diverifikasi dan jika anda mendakwa maka harus mendatangkan dalil. Dalam konteks inilah, Haidar keliru. Saat menyebutkan satu-dua dakwaan atau nukilan, ia tidak menyebut sumber apalagi memverifikasi kesahihannya. Jadi harap dimaklumi. Tak bermaksud semena-mena, tetapi menaati kode etik, yang mungkin ditafsirkan lain. Ini berbeda dengan ulama salaf yang dengan amanah telah menyebutkan sanad lengkap, dan menjadi tugas peneliti selanjutnya untuk memverifikasi kebenarannya.

Pertama, masih soal Tahrif (distorsi dan ketidaklengkapan) Al-Qur’an di kalangan Syiah dan Sunnah. Saya tegaskan bahwa Ahlusunnah secara mutlak menerima keotentikan, kelengkapan dan kemutawatiran mushaf Usmani yang ada saat ini --tanpa ada pengurangan dan tambahan sedikitpun. Namun tak jarang, kalangan Syiah menuduh balik bahwa indikasi tahrif banyak ditemukan dalam riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab hadis standar di kalangan sunnah. Saudara Haidar telah menyebutkan di antara contoh sebagiannya.

Contoh-contoh riwayat yang berbau ‘Tahrif’, yang disebut Haidar, sangat akrab di kalangan pengkaji ilmu Al-Qur’an dalam kajian Nasikh-Mansukh. Berbagai literatur seperti Al-Burhan (vol.2/41-46) karya Az-Zarkasyi, Al-Itqon (hlm.332&336) karya As-Suyuthi dan Manahil Irfan (vol.2/154-155) karya Az-Zarqani memberi contoh hadis Sayidah Aisyah tentang hukum 10 kali susuan yang dinasakh oleh 5 kali susuan (HR.Muslim) untuk kategori nasakh (konsep abrogasi) baik pada hukum dan bacaan Al-Qur’an. Sedangkan riwayat Sayidina Umar tentang ayat rajam (HR.Bukhari) dan riwayat Ubay ibn Ka’ab tentang ayat rajam (HR.Ibnu Hibban), dijadikan contoh untuk kategori nasakh pada bacaan saja, dan hukumnya tetap berlaku.

Menilai riwayat-riwayat yang dikategorikan nasikh-mansukh menurut konsep ‘Ahlusunnah’, dan menyamakan dengan ‘Tahrif’ adalah suatu kekeliruan yang mendasar. Ulama Ahlusunnah memandang adanya nasakh di dalam Al-Qur’an, --- yang tentunya adalah hak prerogatif Allah SWT dan hanya bisa terjadi selama Rasulullah hidup dan atas kewenangannya –bukan suatu distorsi (Tahrif) dan ketidaklengkapan Al-Qur’an.

Nukilan dari Aisyah, seperti dikutip Haidar, bahwa surah Al-Ahzab aslinya 200 ayat lalu tersisa hanya 73 ayat dalam mushaf Usmani, ditinjau dari sanadnya dhoif. Karena hadis itu diriwayatkan oleh Abu Ubaid (penulis Fadha’il Al-Qur’an) sampai ke Aisyah, yang rawinya Ibnu Lahi’ah dinilai mukhtalit (hafalannya amburadul) setelah kitab-kitabnya hangus terbakar, sehingga sanadnya dhoif/lemah (Mizan Al-I’tidal vol.2/475-477). Demikian pula nukilan dari Ubay ibn Ka’ab bahwa jumlah surah Al-Ahzab setara dengan Al-Baqarah (286 ayat), ternyata seorang rawinya Al-Mubarak ibn Fadhalah adalah mudallis yang dinilai dhoif/lemah, seperti penilaian Abu Dawud dan Abu Zur’ah dalam Al-Mudallisin (vol.1/80).

Nah, tidak seperti dikesankan Haidar bahwa fakta itu ditengarai bentuk Tahrif, lagi-lagi jika mau jujur, justru riwayat Aisyah dan Ubay di atas ditempatkan oleh As-Suyuthi dalam kategori nasakh tilawah (lihat hlm.336). Artinya, Suyuthi ingin menegaskan bahwa sisa 127 ayat atau 213 ayat semuanya telah dinasakh bacaan dan hukumnya. Kecuali ayat Rajam yang hukumnya tetap berlaku meski bacaannya telah dinasakh. Inilah yang ditegaskan kembali oleh Al-Bayhaqi dalam As-Sunan Al-Kubra (vol.8/211), Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani dalam Al-Intishar lil Qur’an (vol.1/406), dan Ibnu Hajar Asqallani dalam Fathul Bari (vol.12/144).

Jadi kesimpulannya, riwayat-riwayat itu hanya untuk konteks nasikh-mansukh, dan bukan pembuktian terjadinya Tahrif dalam Qur’an menurut ulama sunni. Saudara Haidar sebagai pendukung Syiah seharusnya memahami masalah ini. Menyamakan atau sengaja mengaburkan konsep Naskh dengan Tahrif jelas kesalahan fatal. Jangan memaksakan cara pandang Syiah pada referensi kaum Sunni.

Selanjutnya, yang kedua, soal riwayat pengutukan Ali ibn Abi Thalib. Saya tidak memungkiri ‘adanya’ cerita-cerita fantastis yang tertuang dalam buku-buku tarikh yang Saudara Haidar sebutkan. Namun sekali lagi, sumber tertua pangkal dari cerita itu adalah riwayat Ibnu Sa’d dalam Thabaqat. Jika Ali Al-Madaini bisa sedikit ditolerir, namun kelemahan riwayat lebih berat karena faktor guru al-Madaini yaitu Luth ibn Yahya Al-Kufi. Dia lah yang saya maksud semua pakar dan imam hadis menilainya lemah. Al-Dzahabi dalam Siyar A'lam An-Nubala (vol.7/301-302) menulis: "Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya Al-Kufi, penulis kitab tasnif dan tarikh, meriwayatkan dari Jabir al-Ju'fi, Mujalid ibn Sa'id, Sha'qab ibn Zuhair, dan sekelompok orang tak dikenal (majhulin)…Yahya ibn Ma'in berkata: (orang ini Luth ibn Yahya) tidak tsiqoh, Abu Hatim berkata: hadisnya ditinggalkan, Ad-Daruquthni berkata: tukang pemberi kabar yang lemah. Selain itu, Abu Mikhnaf adalah tukang berita yang rusak dan tak dipercaya (Mizan Al-I’tidal, vol.3/409)

Mengutip riwayat Sahih Muslim dari Sahl ibn Sa’ad (no.2409) juga kurang tepat dalam konteks pengutukan. Sebab Imam Muslim justru memasukkan hadis itu dalam Bab Min Fadha’il Aly ibn Abi Thalib (Keutamaan Ali R.A.).

Memang tidak mudah menyeleksi riwayat yang tertuang dalam buku-buku sejarah, juga menganalisanya secara adil. Apalagi sering dijumpai oknum-oknum tertentu dengan motif politis memperkeruh suasana dalam setiap periode penulisan sejarah. Penting dicatat, Ahlusunnah sepanjang sejarah tidak pernah membela, merestui dan apalagi menjadikan pengutukan terhadap para sahabat dan ahlul bait Nabi – terlebih Sayidina Ali -- sebagai akidah atau dendam kesumat yang tertanam kuat secara resmi. Bisa dibayangkan, dengan asumsi cerita kutukan terhadap Sayidina Ali selama 70 tahun (yang diragukan kebenarannya) itu sudah sangat tercela, bagaimanakah lagi pengutukan terhadap Khalifah Abu Bakr dan Umar, serta istri nabi yang dilestarikan lebih dari 1000 tahun–dan entah sampai kapan-?

Dalam I’tiqad Ahlusunnah, semua sahabat dan keluarga nabi, tanpa terkecuali, adalah orang-orang mulia yang terdidik dalam madrasah nubuwwah dan berjuang bertahun-tahun menegakkan panji Islam bersama Rasulullah. Pengorbanan nyawa, harta dan keluarga sudah tak terhitung. Mustahil rasanya, manusia-manusia yang disanjung berkali-kali dalam Al-Qur’an dan hadis nabi, mereka sontak berubah menjadi manusia tak bermoral dan beragama seketika hanya karena rebutan tahta dunia. Kecuali jika kita hendak katakan, bahwa Rasul telah gagal total dalam dakwahnya dan Allah SWT salah karena telah memuji kualitas iman mereka. Ini sama artinya merendahkan Allah dan Rasul-Nya, Wal’iyadzu billah!

Polemik ini semoga lebih membuka wawasan umat, bahwa masih ada ganjalan-ganjalan teologis dan historis dalam hal hubungan muslim Sunni dan Syiah. Jurang perbedaan antara keduanya juga lebar baik dalam aspek ushul akidah maupun furu’ agama. Agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan bersama, juga demi keutuhan bangsa ini, maka benarlah ajakan Saudara Haidar agar semua elemen Syiah tidak mendakwahkan ajarannya di tengah mayoritas mutlak Sunni. Jika himbauan itu tidak diindahkan serius, terus terang saya kuatir nasib persatuan bangsa ini, dimana muslim sebagai mayoritas, akan terkoyak dan tercabik-cabik. Cukup sudah pengalaman konflik sektarian di Irak, Lebanon dan Pakistan menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Sayangnya, Penerbit Mizan yang dipimpin Saudara Haidar, sejak 1983 terus-menerus menerbitkan buku berjudul Dialog Sunnah-Syi’ah –sebuah dialog fiktif yang dikarang Syarafuddin Al-Musawi- yang mengandung fitnah dan penghinaan terhadap Istri Nabi Muhammad saw, terutama Aisyah R.A.

Terakhir, apa yang saya tulis ini adalah bagian dari tawashaw bil-haq dan tawashaw bil-shabr secara objektif, ikhlas, dan tajarrud pada al-haq seperti harapan Sdr. Haidar. Agar umat semakin cerdas dan dewasa. Wallahu a’lam. (***)

Syiah dan Kesalahpahaman, Tanggapan Artikel "Sekali Lagi, Syiah dan Kerukunan Umat"
Oleh Fahmi Salim, MA
(Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia/MIUMI)
Posted on 3:25 PM / 0 comments / Read More

Popular Posts

Total Pageviews

Facebook

Blog Archive

Shout Box


ShoutMix chat widget

Followers

Copyright © 2011. SMART ZIKIR . Published by Ardisyam