Search This Blog

Pages

 

Thursday, August 9, 2012

Orang yang Bingung Berarti Kehilangan Islamnya

Hidayatullah.com, Damaskus--Kalau ada orang yang bingung antara mau menjadi "Liberal" atau menjadi "Teroris" berarti dia sudah kehilangan Islam dari dirinya. Orang seperti ini adalah korban perang pemikiran yang dilancarkan Dunia Barat sekular kepada Islam. Perang ini berusaha memaksa umat Islam untuk memilih antara harus menjadi Muslim "fundamentalis" atau menjadi Muslim "moderat" atau "liberal". "Fundamentalis" dianggap cenderung menjadi teroris, sedangkan "liberal" dianggap bisa hidup seenak syahwat layaknya bangsa Barat.

Demikian jawaban Dr. Hamid F. Zarkasyi, dari Institut Studi Islam Darussalam (ISID), Gontor, kepada salah satu penanya dalam acara Lokakarya Pemikiran dan Peradaban bertajuk "Liberalisme dan Bahayanya bagi Ummat" di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Damaskus, Suriah, malam tadi. Acara ini dibuka oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Arab Suriah Muzzammil Basyuni.

"Kita bukan teroris, kita juga bukan liberal. Kita ini Muslim di dalam sebuah Islam yang sempurna. Ini sudah lebih dari cukup sebagai identitas," tukas Hamid.

Di dalam pemaparannya di hadapan sekitar 80 orang hadirin termasuk pelajar-pelajar Malaysia, Pattani (Thailand Selatan), dan Moro (Filipina Selatan), Hamid menjelaskan strategi think tank Amerika SerikatRAND Corporation yang dipakai oleh Dewan Keamanan Nasional-nya Gedung Putih yaitu memilah dan memecah kaum Muslimin menjadi beberapa kelompok.

"Fundamentalis", "Tradisional", "Moderat", dan "Liberal". Strategi yang dikembangkan adalah memberi perlakuan berbeda kepada masing-masing kelompok. Misalnya, dukung sepenuhnya kaum "moderat" dan "tradisionalis" dalam bentuk dana dan dukungan politik serta kebudayaan, serta cegah kedua kelompok ini untuk bersatu dengan "fundamentalis".

Maka tidaklah mengherankan, menurut Hamid yang juga kolumnis tetap Hidayatullah.com, kita kemudian menyaksikan bagaimana AS melalui yayasan-yayasan kebudayaannya semisal Ford Foundationdan the Asia Foundation menggelontorkan dana dalam jumlah sangat besar agar kaum "moderat" dan "tradisionalis" menyuarakan "Islam" sebagaimana yang diinginkan oleh AS lewat berbagai media dan acara.

"Islam" yang diinginkan AS adalah yang toleran kepada kemusyrikan bernama Pluralisme Agama, membolehkan homoseksualisme dan perzinaan, mempertanyakan keaslian Al-Quran sebagai wahyu Allah, menafikan syariat Islam dan sebagainya.

AS lewat berbagai kaki tangannya di Indonesia, menurut Hamid yang juga direktur utama INSISTS (Institute for the Studies of Islamic Thought and Civilization) ini, berupaya keras memanfaatkan semua peristiwa untuk menumbuhkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam antara kelompok yang dikategorikan "fundamentalis" melawan mereka yang dikategorikan "tradisionalis" dan "moderat".

Hamid menyebut kasus Monas yang menyebabkan bentrok antara Front Pembela Islam dan para pendukung kesesatan Ahmadiyah sebagai bentuk provokasi agar kelompok seperti FPI selalu terlihat marah di media massa.

Di acara yang sama, Dr. Amal F. Zarkasyi, juga dari ISID Gontor, memaparkan dalam bahasa Arab bahwa kemajuan Islam dan umat Islam harus didefinisikan sebagai kembalinya umat Islam kepada tuntunan Islam yang asli, bukan justru mengubah-ubah Islam.

Menurut Amal, "Ijtihad adalah suatu proses yang dilakukan para ulama yang menguasai berbagai ilmu dengan baik, dengan tujuan mengembalikan umat kepada ajaran Islam yang asli dan sempurna di berbagai bidang kehidupan."

Liberalisme, menurut Amal, berusaha menyamarkan kejahatan ideologinya dengan menyebut dirinya "gerakan ijtihad" alias "pembaharuan Islam". Dalihnya, agar Islam yang dijalankan umat Islam lebih cocok dengan zaman sekarang. Padahal yang dilakukan Liberalisme sesungguhnya secara sistematis mempereteli dan menghancurkan sendi-sendi ajaran utama Islam.

"Aqidah, misalnya, yang juga mencakup keyakinan bahwa Al-Quran itu wahyu sumber Syariat, merupakan dasar Islam yang tidak bisa dan tidak perlu diijtihadkan, dia sudah sempurna dari awalnya," tukas Amal.

Dimyati, salah satu penanya di antara 20 orang kader calon pemimpin pesantren yang sedang menjalani program pembekalan dari Departemen Agama RI selama sebulan bersama para ulama Suriah, menanyakan, "Sepertinya kita sedang dalam keadaan perang? Sampai kapan perang ini?"

Amal menjawab dengan lugas, "Ya, kita memang sedang berperang, karena Liberalisme mengarahkan umat Islam kepada kemusyrikan dan kekafiran meskipun dibungkus dengan istilah-istilah Islam, serta di garis depan dikerjakan oleh sekelompok cendekiawan Islam yang sudah terjebak. Perang pemikiran ini akin berlangsung sampai Hari Kiamat."

Amal lalu menutup, "Tinggal kita memilih, mau berdiri bersama Islam, atau bersama kemusyrikan dan kekafiran yang dibungkus Liberalisme?" [ajd/www.hidayatullah.com]

No comments:

Post a Comment

Popular Posts

Total Pageviews

Facebook

Blog Archive

Shout Box


ShoutMix chat widget

Followers

Copyright © 2011. SMART ZIKIR . Published by Ardisyam