Search This Blog

Pages

 

Sunday, June 19, 2011

Quran Tidak Mewajibkan Kerudung Hanya Menganjurkan?

Teman saya membaca Al-Quran dan meski dia tidak menguasai bahasa Arab,
dia bilang bahwa dirinya mendapatkan beberapa ayat yang kelihatannya
tidak sejalan dengan apa yang dikatakan oleh para ulama.

Misalnya, Al-Quran tidak pernah mewajibkan para wanita memakai
kerudung, tetapi mengapa para ulama mewajibkan? Itu bisa kita baca
dalam surat An-Nur ayat 31:

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya (QS. An-Nuur: 31)

Yang dia tekankan bahwa pada teksnya Al-Quran tidak sampai mewajibkan
pemakaian kerudung, tetapi hanya menganjurkan saja.

Karena perintah itu dimulai dengan kata hendaklah. Di mana menurut dia
bahwa ungkapan dengan menggunakan kata hendaklah bukan merupakan
perintah, melainkan hanya himbauan, saran atau anjuran saja.

Bagaimana pandangan ustadz dalam masalah ini?


Memang selalu akan muncul kekurangan kalau kita memahami Al-Quran
lewat terjemahan. Sebab penerjemahan dari suatu bahasa ke bahasa lain
memang akan selalu mengalami penurunan kualitas pesan. Dan akan
menjadi fatal bila terkait dengan kandungan hukum.

Para ahli fiqih sebenarnya sudah menjelaskan sejak dahulu bahwa syarat
paling esensial untuk memahami Al-Quran dan menarik kesimpulan hukum
adalah dengan menguasai bahasa arab. Bukan hanya grammarnya saja,
tetapi sekalian juga rasa bahasanya.

Dan sebuah penerjemahan akan menghilangkan rasa bahasa yang original
bahkan seringkali menghasilkan bias maknanya. Salah satu kasusnya
adalah apa yang anda tanyakan di atas.

Memang benar bahwa kata 'hendaklah' dalam rasa bahasa kita tidak
menjadi kewajiban, hanya terbatas pada himbauan, anjuran atau saran.
Artinya, bila tidak dikerjakan karena suatu hal tertentu, maka tidak
mengapa hukumnya.

Sebenarnya yang terjadi adalah kesalahan atau keterpelesetan ketika
menterjemahkan. Terjemahan yang benar dari ayat yang anda tanyakan itu
sebenarnya buka 'hendaklah', tetapi: 'wajiblah'.

Lho kok begitu?

Begini duduk masalahnya. Di dalam ilmu ushul fiqih, hukum wajib itu
tidak selalu didapat dari kata perintah saja (fi'il amr), tetapi juga
dari beberapa kata lain yang maknanya mengandung perintah. Salah
satunya dari kata kerja atau fi'il Mudhari' Majzum.

Contoh

Fi'il mudhari' sebenarnya tidak berfungsi sebagai kata perintah,
melainkan kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang atau masa yang
akan datang. Namun karena ketambahan hufur lam di depannya, maka
fungsinya berubah menjadi kata perintah.

Sebagai contoh sederhana adalah lafadz ayat Al-Quran berikut ini:

Kata walyaththawwafu berasal dari kata yaththawwafuna yang ketambahan
huruf lam di depan dan oleh karenanya huruf nun di bagian akhir
menjadi hilang. Sehingga kalau disambung menjadi walyaththawwafu.
Sebenarnya kata yaththawwafuna bukan kata perintah, atau bukan fi'il
amr melainkan fi'il mudhari'. Tetapi ketika dibentuk menjadi fi'il
mudhari' majzum seperti di atas, maka makna dan fungsinya telah
berubah menjadi perintah. Sehingga hukumnya menjadi wajib.

Pokok Masalah

Pokok masalahnya adalah penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia oleh
Departemen Agama memang agak kurang tepat. Sebab terjemahannya
menggunakan kata "hendaklah". Padahal secara rasa bahasa, banyak orang
yang memahami kalau penggunaan kata "hendaklah" tidak bermankna
perintah, melainkan himbauan. Dan himbauan tidak sama dengan perintah.

Itulah mengapa banyak orang yang hanya membaca terjemahan Depag,
lantas keliru dalam memahami nilai hukum yang ada dalam Al-Quran.
Salah satunya karena begitu banyak kata perintah hanya diterjemahkan
sebagai "hendaklah".

Beberapa Contoh Lain

Padahal kalau kita teliti lebih jauh, dalam Al-Quran ternyata cukup
banyak fi'il mudhari' yang maknanya telah berubah menjadi kata
perintah. Sayangnya, terjemahannya semua menggunakan kata 'hendaklah'.

Silahkan buka surat Al-Baqarah. Di sana ada beberapa ayat seperti kata
walitukmilul 'iddata pada ayat 185, kata falyastajibu li wal yu'minu
bipada ayat 186, kata walyaktub di ayat 282, kata falyu'addi pada ayat
283. Semua adalah fi'il mudhari' yang maknanya telah berubah menjadi
perintah, namun tetap diterjemahkan menjadi 'hendaklah'. Seolah-olah
hanya anjuran padahal kewajiban.

Kalau masih penasaran, silahkan bukan surat Ali Imran. Di sana ada
kata waltakun minkum pada ayat 104, kata falyatawakkal pada ayat 122
dan 160, kata latubayyinunnahu pada ayat 187, kata falyasta'fif pada
ayat 6. Sama juga kasusnya, semua itu adalah fi'il mudhari' majzum
yang maknanya perintah, bukan hendaklah. Sayangnya, di terjemahan
Depag masih ditulis dengan arti 'hendaklah'.

Masih banyak lagi contoh lainnya, silahkan perhatikan di dalam surat
An-Nisa' ada kata walyakhsya pada ayat 9 dan kata falyuqatil pada ayat
74. Di dalam surat Al-Maidah da kata walyahkum pada ayat 47. Di dalam
surat At-Taubah ada kata falyadhaku dan walyabku pada ayat 82. Di
dalam surat Yunus ada kata falyafrahu pada ayat 58.

Di dalam surat Al-Kahfi ada kata falyandzur, falya'tikum,
walyatalaththaf dalam ayat 19. Juga ada kata falyu'min dan falyakfur
dalam ayat 29. Ada kata falya'mal pada ayat 110.

Sebenarnya masih banyak contoh lainnya di dalam Al-Quran tentang kasus
yang sama, namun halaman ini akan jadi panjang sekali. Cukup rasanya
sebagai contoh.

Kesimpulan

Kesimpulannya adalah bahwa memakai jilbab itu bukan sekedar himbauan,
melainkan kewajiban. Karena kata walyadhribna bikhumurihinna dalam
surat An-Nuur: 31 tidak bermakna hendaklah mengulurkan kain kerudung,
melainkan: wajiblah atas mereka mengulurkan mengulurkan kain kerudung.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

No comments:

Post a Comment

Popular Posts

Total Pageviews

Facebook

Blog Archive

Shout Box


ShoutMix chat widget

Followers

Copyright © 2011. SMART ZIKIR . Published by Ardisyam