Search This Blog

Pages

 

Saturday, May 21, 2011

Liberal Menzhalimi Akal


Argumen-argumen tekstual tak jarang berfungsi bukan sebagai penambah keluasan cakrawala berpikir, tapi sebagai katup pembahasan.” Itulah di antara pernyataan nyleneh kaum liberalis. Tentu, yang mereka maksud argumen-argumen tekstual adalah nash al-Quran dan as-Sunnah. Dan itu yang mereka sebagai katup! Katup, sesuatu yang biasa digunakan untuk membuka dan menutup. Mereka menuduh al-Quran dan as-Sunnah sebagai alat untuk mengungkung kebebasan berpikir dan membatasi keluasan cakrawala.

Kebebasan Mempertuhan Akal

Karena itu, orang-orang liberal berpendapat sudah saatnya menggelorakan semboyan kebebasan berpikir, yaitu berfikir tentang apapun tanpa batas, liar tanpa batasan, termasuk dalam memposisikan al-adillah an-naqliyyah (dalil-dalil al-Quran dan al-Hadits) dan pemahamannya.

Bagi mereka, jika dibandingkan akal, al-Quran dan al-Hadits bersifat relatif dan bukan merupakan kebenaran yang mutlak. Jadi, akal dianggapnya lebih otoritatif untuk menentukan dan menafsirkan benar dan salah, halal dan haram. Bahkan jika terjadi pertentangan di antara keduanya, yakni al-Quran dan as-Sunnah di satu sisi serta akal di sisi yang lain, maka al-Quran dan as-Sunnah-lah yang perlu ditafsirkan ulang dengan kaedah hermeneutik ataupun pemahaman substantif.

Bahkan juga, bagi mereka jika perlu merubah lafazh-nya. Contohnya, di antara pentolan mereka berani mengganti “Innad-dîna ‘indallâhil-Islam” dengan “Innad-dîna indallâhil-Hanifiyah”. Kenapa demikian? Mereka beralasan kalau agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam, itu namanaya arogan dan anti toleransi. Astaghfirullâh!

Entah dari mana mereka mendapatkan inspirasi, tapi idea seperti itu mirip dengan apa yang pernah dilakukan iblis manakala menolak perintah Allah dengan dalih akalnya. Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. al-A’râf: 12)

Kedudukan Akal dalam Islam

Sesungguhnya tiada alasan untuk mempertentangkan akal dengan naql, karena memang tidak ada pertentangan antara dalil naqli yang shahih dengan aqli yang sharih (benar dan lurus). Akal berfungsi sebagai penguat kebenaran nash syar’i. Tetapi, bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka nash syar’i harus didahulukan dan dimenangkan, sementara akal harus dibelakangkan dan dikalahkan karena sifat keterbatasannya. Akal dapat dijadikan dalil jika ia sejalan dengan al-Quran dan as-Sunnah. Jika ia bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dasarnya.

...Akal berfungsi sebagai penguat kebenaran nash syar’i. Tetapi, bila terjadi pertentangan antara keduanya, maka nash syar’i harus didahulukan dan dimenangkan, sementara akal harus dibelakangkan dan dikalahkan karena sifat keterbatasannya...

Peranan akal di sisi naql, adalah seperti peranan orang awam disisi mujtahid. Para mujtahidlah yang mengetahui nash syar’i sekaligus maksud dari nash tersebut, hingga dialah yang mampu memutuskan hukum halal dan haram berdasarkan kekuatan ilmunya terhadap nash syar’i tersebut serta sifat ketundukannya kepada musyari’ (yang berhak menentukan syari’at) yakni Allah dan Rasul-Nya. Karena kekuatan ilmu nash syar’i dan ketundukan terhadap musyari’ inilah hingga Allah memuliakan mujtahid. Hasil ijtihad yang salahpun mendapat pahala satu, yakni pahala ijtihad. Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

Apabila seorang hakim menghukumi suatu perkara dengan kekuatan ijtihadnya kemudian hasil ijtihad tersebut benar maka dia mendapat pahala dua. Dan apabila salah, maka dia baginya pahala satu (yakni pahala ijtihad).” (HR. al-Bukhârî)

Sementara orang awam-sampai dia tidak lagi awam-kewajibannya adalah memahami dan mengikuti mujtahid serta percaya kepadanya. Itu saja! Karena bisa jadi, sekalipun dijelaskan dalil dan istidlal (maksud dalil tersebut) kepadanya, belum tentu si awam memahaminya.

Coba, kalau seorang awam dipaksa berijtihad. Di samping pasti rusak, itu juga sama saja menghina dan menzhalimi mereka karena mendaulat untuk berbuat diluar kemampuannya.

Jelaslah, bahwa tidak berbanding kalau harus mempertentangkan antara naql dan akal. Karena naql kebenarannya mutlak,

Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. al-Baqarah: 147)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dîn kaum muslimin ditegakkan di atas landasan ittiba’ pada Kitabullah, as-Sunnah, dan apa-apa yang menjadi kesepakatan ummat. Ketiga perkara ini merupakan pokok-pokok yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).”

Sedangkan kebenaran akal tidak mutlak, sangat tergantung dan terkait erat dengan sifat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang Allah berikan kepada masing-masing manusia. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,

Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. al-Isrâ’: 85)

Mengapa Memilih Kesesatan

Demikianlah Islam dalam mendudukkan akal. Dan yang lebih penting lagi bahwa Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menurunkan wahyu dan mengutus para Rasul adalah untuk menutupi kekurangan yang ada pada manusia, termasuk kekurangan dalam akalnya. Tanpa petunjuk niscaya sesat, dan tanpa teladan niscaya kebingungan.

Al-Quran dan as-Sunnah adalah karunia, yang dengannnya manusia bisa hidup dalam keterarahan, dan dengannya juga seorang muslim justru tidak akan terkekang, melainkan lapang dan seimbang.

Sedangkan bagi mereka yang menolaknya, kemudian lebih memilih akal sebagai agama, sesungguhnya orang itu telah mengambil kesesatan daripada petunjuk, dan memilih dalam kebingungan dari pada jalan yang lempang.
Wallâhu a’lam. (fath & hanif/ www.ar-risalah.or.id)

http://ar-risalah.or.id/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=243

No comments:

Post a Comment

Popular Posts

Total Pageviews

Facebook

Blog Archive

Shout Box


ShoutMix chat widget

Followers

Copyright © 2011. SMART ZIKIR . Published by Ardisyam