Search This Blog

Pages

 

Friday, August 12, 2011

Ciri dan Karakteristik Madrasah Zhahiriyyah Baru

Madrasah yang menjadi tren zhahiriyyah ini memiliki ciri serta karakteristik ilmu, pemikiran, dan akhlak yang membedakannya dari madrasah-madrasah lain. Hal itulah yang mempengaruhi orientasi fikih dan amal mereka ketika memilih berbagai pemikiran, menguatkan berbagai pendapat, menghukumi kejadian, situasi, dan orang. Karakteristik tersebut saya rangkum ke dalam enam hal, yaitu:

a. Pemahaman dan Penafsiran yang Literal.

Literal dalam memahami dan menafsirkan teks-teks tanpa melihat hal-hal yang tersembunyi di dalamnya, baik berupa 'illat dan maksud-maksud yang bisa diketahui oleh seorang peneliti yang mendalam.

Jika ancaman yang ada di dalam hadits tentang isbal adalah shahih, di mana Allah tidak akan melihat dan berbicara kepada orang yang isbal di Hari Kiamat,(1) dia akan mendapatkan siksaan yang pedih,(2) mengapa orang yang ada di dalam madrasah ini tidak melihat 'illat yang ada di balik ancaman yang keras tersebut? Apakah hanya isbal saj a seseorang berhak mendapatkan ancaman tersebut? Apakah ia sesuai dengan seluruh logika agama?

Tidakkah mereka melihat `illat yang ada di balik ancaman tersebut dan bisa memalingkan hati, yaitu "kesombongan", yang dalam beberapa hadits disebutkan dengan sangat jelas?(3)

Mutlak harus dikembalikan kepada Muqayyad. Karena, dengan hal itulah hal yang samar akan hilang dan logika agama akan menjadi lurus. Agama memiliki perhatian yang lebih besar terhadap maksiat yang ada di dalam hati. Meskipun ia tidak dengan serta merta melupakan simbol adab dan etika. Namun, meninggalkan adab-adab dan etika tersebut tidak harus menyebabkan ancaman yang begitu besar. Ancaman tersebut pantas diberikan kepada hal seperti sombong. Karena, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.

Namun, madrasah ini tidak mau menyusahkan diri untuk mencari hal seperti itu. Akhimya, ia memahami hadits isbal dengan literal dan berlaku keras kepadanya —dan tetap menganggap isbal diancam oleh api neraka dan dimurkai oleh Allah Ta'ala.

b. Keras dan Menyulitkan
 
Meskipun tidak mengakuinya, tetapi madrasah ini berlaku keras, ketat, dan berlebihan. Bahkan, mereka berpendapat bahwa hal itu adalah kebenaran yang sesuai dengan dalil!

Tidak aneh, dalam sejarah Islam, setiap orang yang keras selalu melihat dirinya sebagai yang paling benar. Kebenaran ada bersama mereka, dan tidak bersama orang lain. Bahkan, meskipun berlebihan dalam agama dan beribadah, baik dalam bentuk shaum dan membaca Al-Qur'an, tetapi Khawarij —yang dicela dan diwanti-wanti oleh hadits-hadits shahih— tetap saja menghalalkan darah serta harta umat Islam. "Mereka akan membunuh umat Islam dan menyeru penyembah berhala."(4)

Kita bisa melihat bahwa mereka selalu memilih pendapat yang paling berat dan susah. Mereka tidak mau mengambil kemudahan (taysir) sebagai manhaj. Bahkan, mereka mencela ulama yang mengajak kepada kemudahan. Menuduh mereka dengan tuduhan memudah-mudahkan dan menyepelekan hukum­-hukum agama.

Jika dalam sebuah masalah ada dua pendapat, kita melihat mereka selalu mengambil pendapat yang paling berat dan susah. Mereka hampir tidak mengenal rukhshah dalam agama, hukum darurat dan kebutuhan yang disesuaikan dengan kadar darurat, serta keringanan dalam agama, baik berupa sakit, safar, kesusahan, dan musibah.

Jika ditanya, hal terdekat kepada pendapat mereka adalah haram. Padahal, ulama salaf tidak pernah menyebutkan kata "haram" kecuali terhadap hal yang jelas-jelas diharamkan dengan jalan pasti. (5)

c. Sombong terhadap Pendapat Mereka

Mereka menganggap pendapat mereka sebagai kebenaran mutlak dan menganggap pendapat orang lain sebagai kesalahan.

Mereka tidak percaya kepada ucapan yang dinisbatkan Imam Asy­Syafi'i, "Pendapatku yang benar (menurut saya), bisa saja salah, dan pendapat orang lain yang salah (menurut saya), bisa saja benar." Namun, mereka berkata, "Pendapat kita benar tidak mungkin salah, dan pendapat orang lain salah tidak mungkin benar."

Untuk itu, mereka berusaha untuk menghapus pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab orang lain serta menyatukan manusia ke dalam pendapat mereka saja.

Tidak aneh jika mereka disebut "madrasah satu pendapat" (madrasah ar-ra'yi al-wahid) yang hendak melawan Syaikh dan murid-muridnya. Mereka ingin menghilangkan perbedaan pendapat di antara manusia dan tidak toleran terhadap pendapat orang lain.

Inilah yang menjadikan ulama besar menolak mereka dan menerangkan bahwa menghilangkan perbedaan pendapat adalah tidak mungkin serta tidak bermanfaat.

Lebih dari satu buku saya telah menerangkan bahwa perbedaan pendapat, terutama dalam fikih dan furu', adalah sebuah keharusan, rahmat, serta keluwesan. Pendapat tersebut saya sertakan dengan dalil-dalil. Seperti buku saya yang berjudul "Ash-Shahwah Al-Islamiyyah baina Al-Ikhtilaf Al-Masyru' wa At-tafarruq Al-Madzmum,"(6) dan "Kaifa Nata'amal ma'a At-Turats wa At-Tamadzhub wa Al-Ikhtilaf."(7)

d. Tidak Menerima Orang-orang yang Berbeda Pendapat

Tidak menerima orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka adalah cabang atau buah dari ciri di atas. Anggapan bahwa pemikiran mereka saja yang benar menjadikan mereka mengingkari, bahkan berlaku keras terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Padahal, ulama telah berijma' bahwa tidak ada pengingkaran dalam permasalahan-permasalahan khilafiyyah dan ijtihadiyyah. Karena, dalam hal benar dan salah, kemungkinan pemikiran-pemikiran menjadi sama, selama ia bersumber dari orang yang tidak makshum. Terkadang, sebagian pemikiran tersebut lebih kuat dan lebih dekat kepada kebenaran daripada pemikiran yang lain. Namun tetap saja, makshum dari kesalahan tidak berlaku bagi seorang mujtahid.

Kita bisa melihat, banyak pemikiran yang dikuatkan dan dibenarkan pada suatu waktu tetapi dilemahkan oleh ulama pada waktu yang lain. Sehingga, ulama pun menguatkan hal yang dahulu dilemahkan dan menshahihkan hal yang dahulu didhaifkan.

Mereka mengingkari kaidah madrasah moderat yang terkenal, "Bekerja sama dalam hal yang kita sepakati, dan menolelir hal yang kita selisihkan" (nata'awan fima ittafaqna alaih wa ya'dziru ba'dhuna ba'dhan fima ikhtalafna fih).

Mereka tidak menolelir dan menghargai sudut pandang orang yang berbeda pendapat dengan mereka. Bahkan, mereka menolak untuk dialog dengan orang-orang yang berbeda pendapat.

Hal itu saya lihat dari sikap mereka terhadap karya sahabat saya, Ustadz Abdul Halim Abu Saqqah, "Tahrir Al-Mar'ah fi Ashr Ar-Risalah." Mereka menolak segala penafsiran, kemudahan, dan pemikiran-pemikiran maju yang ada di dalam buku tersebut dan diambil dari Al-Qur'an, Shahih Al-Bukhari, serta Shahih Muslim.

Syekh Ali TantawiSyekh Ali TantawiAbdul Halim Abu Saqqah mengajak mereka untuk dialog dan mendiskusikan hal-hal yang mereka tidak setujui. Namun, mereka menolak hal itu secara mutlak. Sampai Syaikh Ali Thanthawi berkata, "Jika demikian, mereka menolak Al-Qur'an, Al-Bukhari, dan Muslim. Karena, buku itu berdiri di atas landasan tersebut!"

Saya sangat berharap agar saudara kita tersebut mengerti tentang adab dialog yang telah ditekankan dan ditulis oleh ulama kita pada zaman dahulu dan zaman sekarang. Di sini, saya ingin menyebutkan karya bernilai yang ditulis pada zaman sekarang, yaitu "Fiqh Al-I'tilaf" yang ditulis oleh Ustadz Mahmud Al-Khazindar. Di dalam buku tersebut ada pendapat-pendapat berharga, yang jika ada niat baik, akan menyatukan orang-orang yang berbeda pendapat.

e. Mengafirkan Orang-orang yang Berbeda Pendapat

Orang-orang literal tersebut tidak cukup hanya dengan mengingkari orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka, tetapi mereka melakukan hal lebih besar dari itu, yaitu dengan berburuk sangka, membid'ahkan, memfasikkan, dan sampai mengafirkan mereka.

Dasar bagi orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka adalah "tuduhan". Padahal, menurut hukum manusia, dasar orang yang dituduh adalah, "benar (tidak bersalah)" hingga terbukti keputusannya (asas praduga tak bersalah). Inilah hal yang ditegaskan oleh syariat Islam. Namun, dasar bagi mereka adalah, tertuduh (bersalah) hingga terbukti kebenarannya. Dan, kebenarannya ada di tangan mereka, bukan di tangan orang lain.

Untuk membantah para pemikir muslim yang tidak sepakat dengan mereka, mereka telah menulis banyak buku besar dan dicetak dengan cetakan lux. Mereka meluaskan bantahan tersebut dengan membid'ahkan, memfasikkan (fasik takwil), dan bahkan mengafirkan. Di antara pemikir-pemikir tersebut adalah; Syaikh Muhammad Al-Ghazali, Dr. Muhammad Imarah, Fahmi Huwaidi, dan saya sendiri.

f. Tidak peduli Terhadap Fitnah


Sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik tersebut ditambah dengan lemahnya perasaan terhadap yang lain. Bahkan, bisa jadi, perasaan tersebut telah hilang seluruhnya. Baik yang lain tersebut adalah orang yang berbeda pendapat dalam madzhab akidah -- seperti Syiah dan Ibadhiyah —atau orang yang berbeda pendapat dalam agama— Yahudi dan Nasrani.

Mereka berkhutbah, menulis, dan mengarang buku seolah-olah hanya mereka sendirilah yang hidup di dunia ini. Pendapat mereka yang menjelekkan pihak lain disebarkan dengan sangat gencar. Seolah-olah mereka tidak merasakan hal itu. Atau, bisa jadi mereka merasakan, tetapi tidak peduli dengan bahaya yang dihasilkan dari hal itu.

Mereka mengafirkan Syi'ah. Padahal, Syi'ah hidup di belakang atau di samping mereka. Hal ini berpengaruh juga kepada Ahlu sunnah yang hidup di belakang Syi'ah.

Mereka mendoakan agar Yahudi dan Nasrani dibinasakan, tidak disisakan sedikit pun, diyatimkan anak-anak mereka, dan dijandakan istri-istri mereka. Padahal, bisa jadi, di negeri mereka atau tetangga negeri mereka banyak orang Yahudi dan Nasrani yang menjadi penduduk negara Islam. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut berpartisipasi dengan mereka dalam kewarganegaraan, tidak memerangi mereka dalam agama, tidak mengusir mereka dari negeri mereka sendiri, atau membantu musuh untuk mengusir mereka. Padahal, Allah tidak melarang untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang seperti mereka.

Bagaimana mungkin doa-doa seperti itu bisa diterima? Padahal, doa-doa seperti itu tidak kita lihat contohnya di dalam Al-Qur'an, sabda Nabi, orang-orang shaleh, dan hadits-hadits Nabi.

Oleh: Syeikh Dr Yusof al-Qaradhawi

Nota Kaki:


1. Seperti hadits, "Kain yang melebihi dua mata kaki ada dalam api neraka." HR. AI-Bukhari, Kitab Al-Libas dari Abu Hurairah (5787).

2. Seperti hadits, "Tiga orang Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada Hari Kiamat, serta tidak akan melihat atau menyucikan mereka dan mereka akan mendapat siksa yang pedih. " Abu Dzar bertanya, "Siapakah mereka wahai Rasulullah?" Beliau menjawab "Orang yang melebihi kainnya dan orang yang dermawan serta menshadaqahkan barangnya dengan sumpah dusta. " HR. Muslim, Kitab Al-Iman dari Abu Dzar (293).

3. Seperti hadits, "Barangsiapa yang menarik bajunya dengan sombong Allah tidak akan melihat kepadanya di Hari Kiamat. " HR. Al-Bukhari, Kitab Al-Libas dari Abdullah bin Umar (5784).

4. Bagian hadits yang mencela Khawarij yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahadits Al-Anbiya' (3344), dan Muslim, Kitab Az-Zakah (2453) dari Abu Said Al-Khudri.

5. Lihat buku saya "Al-Halal wa Al-Haram," dalam bab "At-Tahlil wa At-Tahrim Haqqullah Wahdih," hlm. 23, cetakan kedua puluh empat, Maktabah Wahbah.

6. Lihat fasal pertama dari bab kedua pada buku tersebut, cet. Dar At-Tauzi' wa An‑Nasyr AI-Islamiyyah.
7. Lihat buku tersebut. hlm. 141-144, cet. Maktabah Wahbah 2001.

1 comment:

Ardisyam said...

{sunwukong] pada pandangan saya, DYQ cuma memberikan analogi dan tamsilan bagi mereka2 yg kurang perasaan terhadap sesama manusia..hingga melampau2 dalam penulisan dan kata2 mereka... sedangkan Syiah itu adalah jiran2 mereka juga... apabila perasaan benci menguasai diri, maka akan kuranglah jazbah untuk melakukan dakwah. ini yang saya faham dengan kenyataan beliau. dan perlu ditekankan juga yg beliau tidak pernah memuji golongan syiah ini. cuma mungkin beliau lebih mengambil pendekatan sederhana

Post a Comment

Popular Posts

Total Pageviews

Facebook

Blog Archive

Shout Box


ShoutMix chat widget

Followers

Copyright © 2011. SMART ZIKIR . Published by Ardisyam